WELCOME TO MY BLOG

"Silahkan memberi tanggapan pada apapun yang ada di dalam blog ini..terima kasih.."

Selasa, 09 Oktober 2007

Otonomi Daerah dan Ijin Pertambangan


Oleh; Kelik Ismunandar[2]

Pengantar
Wacana ”pro-kontra” rencana penambangan emas oleh PT. Merukh Enterprise di Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur terus mengemuka diberbagai media. Setidaknya Kita patut berterimakasih kepada beberapa media yang terus membuka wacana kepada semua pihak untuk berkontribusi melakukan adu wacana. Semoga adu wacana yang dilakukan, mampu memperkaya perspektif kepada para pihak yang berkepentingan agar bisa melihat lebih kritis tentang ijin pertambangan serta dampak yang akan dihasilkannya.

Dalam tulisan ini, penulis ingin megajak pembaca melihat konflik tambang (baca; penolakan masyarakat) di wilayah Lembata maupun tempat lain (Propinsi NTT) terkait dengan pemberlakuan UU 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Meskipun otonomi daerah bukan satu-satunya faktor maraknya ijin pertambangan yang dikeluarkan, setidaknya melalui UU ini telah membuka peluang pemerintah daerah untuk mengelola serta memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada di wilayahnya, jika dibandingkan sistem pemerintahan sebelumnya (orde baru).

Berbagai kebijakan pemerintah daerah terkait dengan pertambangan inilah yang kemudian melahirkan berbagai gejolak penolakan. Dalam catatan penulis, terdapat beberapa kasus yang terjadi di wilayah Nusa Tenggara Timur seperti; penolakan masyarakat desa Fatukoto dan Ajaobaki (1999), desa Tunua (2006), Kuanoel-Fatumnasi (2006) di Kabupaten Timor Tengah Selatan, bukit Lidak Kota Atambua, Kabupaten Belu (2006) terkait dengan penambangan batu marmer. Penolakan masyarakat desa Lio Timur, Wolowaru, dan Maurole (2007) di Kabupaten Ende terkait dengan rencana penambangan bijih besi dan masyarakat desa Laragere (2007) Kabupaten Lembata untuk tambang emas dsb.

Dari berbagai penolakan tersebut terdapat beberapa rencana penambangan yang kemudian dihentikan seperti di desa Fatu Koto dan Ajaobaki, Desa Lidak, dan desa Lio Timor, Wolowaru dan Maurole. Sedang untuk wilayah lainnya masih terus berjalan, baik dalam proses maupun melanjutkan penambangan seperti yang terjadi di desa Kuanoel-Fatumnasi maupun Lembata sekarang ini.

Maraknya ijin pertambangan yang telah dikeluarkan pemerintah daerah untuk mengeksplorasi maupun mengeksploitasi sumber daya alam di wilayahnya tidak terlepas dari cara pandang yang melihat sumber daya alam sebagai sebuah komoditas. Cara pandang seperti ini yang kemudian melahirkan sebuah prinsip keruk habis dan jual murah dalam rangka memenuhi kebutuhan daerah-nya (PAD).

Kewenangan Daerah
Pada awal diberlakukannya UU Otonomi Daerah No 22 tahun 1999 (kemudian direvisi menjadi UU No 32 tahun 2004), banyak pihak berharap akan terjadi sebuah perubahan besar di Indonesia. Sebuah perubahan yang akan membawa Indonesia kearah yang lebih baik dengan terbentuknya pemerintah yang bersih (bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemerintahan yang lebih demokratis, terbuka dan berpihak pada masyarakat.

Demikian pula dengan pengelolaan sumber daya alam, pemberlakuan otonomi daerah diharapkan mampu membawa perubahan pola pikir dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Harapan ini didasarkan pada pengalaman sebelumnya (sejak masa kolonial sampai orde baru) yang telah meletakkan nilai yang sangat kecil pada keberlanjutan sumber daya alam (pemeliharaan dan keadilan), sehingga yang terjadi adalah eksploitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alam yang ada.

Nampaknya harapan ini terjadi sebaliknya, pemberlakuan otonomi daerah tidak ada bedanya dengan sistem pemerintahan sebelumnya dalam pengelolaan sumber daya alam. Pertanyaannya adalah mengapa terjadi demikian?

Untuk menjawab pertanyaan ini maka tidak bisa dilepaskan dari krisis ekonomi maupun politik yang mewarnai perubahan sistem pemerintahan di Indonesia tahun 1998. Krisis multidimensi ini membawa pengaruh cukup besar dan signifikan terhadap perubahan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang diawali dari kesepakatan antara pemerintah dengan Dana Moneter Internasional (IMF).

Untuk membantu krisis yang terjadi di Indonesia, IMF telah menetapkan satu syarat yaitu penyesuaian struktural (struktural adjustment) sebagai syarat pinjaman yang akan diberikan kepada Indonesia. Struktural adjustment adalah suatu proses dan pengukuran perubahan struktural secara sistematis, berupa pembaharuan kebijakan nasional yang mencakup aspek reformasi ekonomi, reformasi institusi termasuk desentralisasi, pembaharuan organisasi pemerintah, pengembangan kapasitas tingkat lokal, regional, maupun nasional (Mugabe, dkk 1997). Di Indonesia kebijakan ini dituangkan dalam 50 butir yang terdiri dari aspek fiskal, moneter dan restrukturisasi perbankan, perdagangan, investasi dan deregulasi, priviatisasi BUMN, serta pengelolaan suberdaya alam dan lingkungan (Hariadi Kartodharjo dan Hira Jhamtani/ penyunting, 2006).

Kebijakan IMF ini tidak terlepas dari sebuah prinsip yang disebut ”Washington Consensus”, yakni sebuah model perekonomian yang berakar pada kepercayaan bahwa ekonomi pasar liberal adalah satu-satunya pilihan untuk seluruh dunia. Kunci dari ”konsesus” ini adalah komidifikasi dari ”milik bersama”. Segala sesuatu dapat dijual, bahkan hal-hal yang berada dalam wilayah kehidupan, contohnya layanan publik dan sumber daya alam yang sebelumnya dianggap sebagai warisan umum umat manusia.(Maude Barlow dan Tony Clarke, 2005).

Intervensi dari kekuatan ’pasar bebas’-pun kemudian dilakukan untuk mengarahkan proses demokrasi di Indonesia kepada faksi-faksi politik pro pasar bebas. Dana triliunan rupiah dikucurkan dari berbagai negara dan donor untuk mengawal kemunculan politik baru paska Soeharto agar sesuai dengan kepentingan pasar bebas. Hasilnya bisa dilihat, semua penguasa paska Soeharto dari Habibie sampai dengan SBY-JK tunduk dan jinak dalam menjalankan berbagai proses liberalisasi ekonomi tanpa bisa direm lagi. Dalam kasus di Indonesia, prinsip pasar bebas adalah,”tidak peduli apapun warna kucingnya, asal pro pasar bebas” atau dapat dibaca ”siapapun rejim yang berkuasa, apapun partainya, tidak begitu penting, yang penting pro pasar bebas” (Wilson, 2006)
Dalam konteks inilah, pemberlakuan otonomi daerah tidak bisa dilepaskan dari kepentingan modal yang mengatasnamakan reformasi atau pembangunan daerah. Pemerintah daerah telah menjadi ujung tombak globalisasi neoliberal yang membawa eksploitasi kapitalis sampai ke pelosok sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama mucul kantong-kantong eksploitasi baru dan sekaligus sumber bencana bagi lingkungan hidup. Otonomi daerah telah memberikan akses langsung terhadap pengelolaan sumber daya alam melalui perangkat UU yang telah diintergrasikan kedalam seluruh sistem kepentingan pasar bebas. Artinya seluruh kebijakan pembangunan negara baik ditingkat nasional maupun lokal telah menfasilitasi kepentingan pasar bebas/globalisasi.

Jika era sebelumnya seluruh kebijakan yang menyangkut politik dan ekonomi terpusat di Jakarta sehingga berakibat pada terjadinya kesenjangan pembagian kekayaan alam maka pemberlakuan otonomi daerah telah merubah paradigma tersebut. Otonomi daerah telah mendelegasikan wewenang kepada daerah untuk mengelola dan mengatur wilayahnya sendiri termasuk mengelola anggarannya sendiri. Dalam konteks inilah, otonomi daerah telah menjadi salah satu faktor pemicu bagi pemerintah daerah dalam melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang semakain meluas karena pemerintah daerah ingin mendapatkan langsung sebagian keuntungan yang diperoleh swasta dan BUMN dari pengusahaan sumber daya alam (Simanjuntak 2003 dalam Hariadi Kartodharjo dan Hira Jhamtani op cit).

Otonomi daerah telah membuka ruang-ruang baru kerjasama kekuatan modal (lokal, nasional dan internasional) untuk melakukan eksploitasi sampai kedaerah-daerah. Otonomi daerah telah menjadi suatu ‘arena baru’ bagi para borjuasi nasional yang kalah bertarung dengan kekuatan modal internasional di tingkat pusat dan semakin sempitnya ruang kompetisi di antara sesama borjuasi. Situasi ini lalu mendorong sejumlah borjuasi di sekitar pusat kekuasaan untuk bergeser ke daerah, sambil mulai membangun berbagai perangkat politik yang dapat mendukung operasi kapitalnya di tingkat lokal (Dita Sari, dalam Wilson Op. Cit).

Akibat dominasi kepentingan pasar bebas di tingkat lokal inilah, rakyat telah kehilangan hak-haknya secara ekonomi, sosial, budaya dan politik untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam. Secara sistematis rakyat telah kehilangan kemampuan dalam bertahan atau mengontrol sistem lokal yang telah mereka miliki selama ini.

Dalam konteks masalah seperti inilah, yang saat ini dihadapi oleh ribuan masyarakat yang ada di wilayah NTT dalam menghadapi ancaman kehadiran berbagai perusahaan tambang yang telah masuk sampai pelosok desa. Pergolakan masyarakat mungkin masih akan panjang, selama kebijakan pasar bebas/neoliberalisme diterapkan oleh pemerintah yang sudah tidak memiliki otoritas untuk menolaknya. Oleh karena itu, perjuangan masyarakat atas sumber daya alam merupakan satu titik perebutan atas kekuasaan, bukankah begitu?

[1] Artikel ini telah dimuat di harian umum Kursor, Jum-at, 7 September 2007
[2] Penulis saat ini aktivis di Perkumpulan Pikul NTT

Tidak ada komentar: