WELCOME TO MY BLOG

"Silahkan memberi tanggapan pada apapun yang ada di dalam blog ini..terima kasih.."

Kamis, 04 Oktober 2007

Tanggung Jawab Dunia Bisnis& Industri Terhadap Lingkungan


EKONOMI Vs LINGKUNGAN

Ketika berlangsung "Pertemuan Kepala Pemerintahan tentang Pembangunan Berkelanjutan" di Johannesburg, Afrika Selatan, Juni 2002, Aburizal Bakrie yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Ketua Umum Kadin mengusulkan agar di masa krisis ekonomi sekarang ini diutamakan pembangunan ekonomi lebih dulu tanpa penanganan masalah lingkungan hidup, dengan alasan bahwa menangani permasalah lingkungan memakan ongkos besar. Dalam keadaan sekarang ini sekadar mempertahankan hidup perusahaan saja sudah menguras segala dana, daya, dan tenaga perusahaan. Apalagi jika ditambah untuk biaya lingkungan. Lagipula bukankah negara industri tadinya membangun ekonomi juga tanpa pertimbangan lingkungan, dan baru kemudian menggarapnya setelah industri sudah maju?. Intinya.., yang diusulkan Ketua Umum Kadin Indonesia adalah pendekatan pola "ekonomi dulu, lingkungan kemudian."

Muncul kecemasan dari para pemerhati dan pecinta lingkungan terhadap kemerosotan baku mutu lingkungan di Indonesia ini, misalnya saja banyak terjadi kasus pencemaran lingkungan seperti limbah tailing PT.Freeport, pencemaran teluk Buyat oleh PT.Newmont., kebakaran hutan, pembalakan liar, konvensi hutan alam di berbagai wilayah Indonesia yang semakin memperkecil luas hutan alami Indonesia. Kerusakan lingkungan Indonesia berdampak global. Tahun 1997 kebakaran hutan Indonesia dan pembakaran tanah gambut telah melepaskan ke atmosfir 2,6 milyar ton karbon, sehingga menaikkan laju pertambahan CO2 dengan dua kali di angkasa bumi. Kebakaran hutan ini seakan tak terkendali lagi, dan berlaku setiap tahun hingga kini. Juga mencemaskan adalah penyedotan air tanah melebihi kemampuan alam untuk mengisinya kembali sehingga volume air dalam tanah kian berkurang. Karena kecemasan tersebut, mereka lebih menyeru pada "selamatkan lingkungan dulu, ekonomi kemudian!!".


Mantan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim, menyatakan bahwa perlu adanya kesinambungan antara ekonomi dan lingkungan. Keduanya harus tetap berjalan bersama jika ingin pembangunan yang berkelanjutan berjalan lancar..maksudnya adalah ekonomi hanya bisa tumbuh jika didukung ekosistem lingkungan sebagai sistem penopang kehidupan yang berfungsi sebagai jaringan kehidupan. Dalam jaringan kehidupan ini "semua bergantung pada semua." Udara bersih yang kita hirup bergantung pada kehadiran tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon berzat hijau daun yang mampu menyerap karbon dan melepaskan zat udara bersih. Hutan dan tumbuh-tumbuhan bisa tumbuh berkembang jika ada curahan hujan yang berasal dari penguapan air laut yang ditiup angin ke tanah daratan. Tanah daratan terdiri dari lapisan lahan yang mampu menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang nantinya gugur membentuk lapisan lahan baru. Tumbuh-tumbuhan dimakan hewan yang mengeluarkan kotoran dan menjadi penyubur tanaman. Udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan dan hewan saling kait-mengait dalam mata rantai ekosistem yang hidup dan menghidupi. Inilah sebabnya mengapa kita menyebutnya: lingkungan hidup.

Dalam sistem kehidupan lingkungan inilah dikembangkan ekonomi sebagai subsistem. Jadi, pembangunan ekonomi perlu memperhitungkan kendala sistem kehidupan lingkungan ini, supaya tidak sampai mematikan kehidupan itu sendiri. Yang kini diperlukan adalah menempatkan pembangunan ekonomi di dalam lingkungan sehingga pengolahan sumber daya alam perlu memperhatikan cirinya dalam lingkungan.


PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN bagi Lingkungan dan Ekonomi


Pembangunan berkelanjutan dalam kehidupan masyarakat Indonesia tercakup dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang berbunyi: "Bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat". Hal ini berarti bahwa pemanfaatan sumber daya alam Indonesia masa kini harus tetap "menjaga" sumber-sumber daya alam tersebut, sehingga generasi-generasi mendatang akan mampu menikmatinya dengan baik. Masalahnya sekarang ini permasalahan-permasalahan lingkungan berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan bisnis serta perdagangan internasional. Disini terdapat kecenderungan yang makin kuat bahwa perdagangan internasional akan semakin dipengaruhi oleh pertimbangan lingkungan yang mengetat, dan munculnya pertimbangan etika dan moral dari para pelaku bisnisnya.


Dalam perspektif industri terdapat 3 pilar utama pembangunan , yaitu:



  • pertumbuhan ekonomi


  • keseimbangan ekologi


  • kemajuan dan kemakmuran sosial

Ketiga hal di atas seperti yang diamanatkan pada KTT Bumi 1992 bahwa pembangunan berkelanjutan harus melibatkan isu-isu lokal, nasional dan global yang tetap bertumpu pada pembangunan yang merata, penciptaan lapangan pekerjaan, dan perbaikan kondisi sosial dan lingkungna tempat masyarakat hidup.


Dengan Ekoefisiensi (merupakan dasar utama kontribusi dunia industri terhadap pembangunan berkelanjuatan yang dimotivasi oleh World Business Council for Sustainable Development, berpusat di Geneva) memadukan pertumbuhan ekonomi dengan penggunaan sumberdaya yang lebih efisien, serta mencegah terjadinya pencemaran, diharapkan terjadi perbaikan keadaan antara ekonomi dan lingkungan yang tetap berkesinambungan.


Di dalam dunia bisnis, setiap industri bertanggung jawab untuk kelangsungan 3 hal berikut:



  1. Keseluruhan siklus hidup barang dan jasa, desain dan pembuatan, pembelian serta pengelolaan bahan baku, produksi, pemasaran, distribusi, dan manajemen limbah.

  2. penerapan prinsip ekoefisiensi untuk meningkatkan nilai bagi planggan melalui penggunaan SDA yang berkelanjutan

  3. Pengurangan bahan baku dan jasa dengan mengurangi ganguan terhadap lingkungan, khususnya SDA.

Konsepsi Emisi Nol semakin penting untuk dihayati dan dilaksanakan karena Indonesia sudah memasuki siklus 5 tahun ketiga setelah tahun 1997. Emisi Nol berarti bahwa seluruh limbah yang terjadi pada rangkaian proses produksi harus dieliminasi. Itu berarti limbah suatu kegiatan industri adalah bahan baku untuk kegiatan industri lainnya, sehingga secara menyeluruh tidak akan ada limbah yang mencemari lingkungan. Tetapi kita lihat pada kenyataannya sekarang ini, masih saja ada limbah industri yang mencemari lingkungan dan ternyata industri tersebut tidak membangun instalasi yang sesuai AMDAL. Namun, memang konsepsi Emisi nol ini lebih ekonomis pada industri biologik seperti pabrik teh Sosro. Di Pabrik tersebut selama masa pensurveian saya.. limbah diproses sedemikian rupa sehingga air limbah yang dihasilkan tidak berbahaya bagi makhluk hidup (uji coba: penggunaan air limbah pabrik Sosro untuk kolam ikan).


Sudah saatnya bagi kita di Indonesia mengkaji kembali potensi SDA nabati dan hewani untuk menghasilkan industri yang bebas limbah. Dari pelajaran industri biologik tersebut baru kita akan mampu belajar bagaimana menyiasati industri bebas limbah secara konsekuen.


dari : E.Gumbira Sa'id dan Emil Salim, pada artikel di koran Republika dan Kompas.











Rabu, 03 Oktober 2007

Reservasi Perjanjian Internasional

by: Maharani Fara, sumber tambahan: buku i wayan (Hukum Perjanjian Internasional, bagian I)
Suatu negara berdaulat yang turut serta di dalam suatu perjanjian internasional diharapkan dapat menyetujui seluruh isi pasal perjanjian, sehingga perjanjian itu dapat mengikat secara utuh dan menyeluruh kepada setiap negara yang menyatakan terikat pada perjanjian tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan perjanjian itu akan menjadi utuh karena semua pihak sudah terikat pada isi perjanjian itu tanpa kecuali.
Namun, pada kenyataannya sangat sulit bagi setiap negara yang ingin ikut dalam suatu perjanjian menerima secara utuh pasal-pasal di dalam perjanjian tersebut, walaupun perjanjian itu merupakan kesepakatan dari utusannya yang turut berunding dalam merumuskan perjanjian itu. Bagi negara yang ingin tetap turut serta pada suatu perjanjian tetapi tidak setuju pada ketentuan tertentu di dalam perjanjian itu, dapat mengajukan suatu pensyaratan.
Pensyaratan (RESERVASI),Pasal 2(1d) Konvensi Wina 1969, adalah suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun, yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, meratifikasi, mengakseptasi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan.
  • Kalau reservasi merupakan pernyataan sepihak, berarti tidak perlu adanya persetujuan negara-negara peserta suatu perjanjian internasional yang ingin direservasi
  • apapun bentuk dan nama dari pensyaratan itu.. nama lain dari pensyaratan yaitu deklarasi, understand/ing, notes, dan reservasi. Di dalam Konvensi Wina '69, yang disebutkan secara tegas sebagai nama lain dari pensyaratan hanyalah reservasi, sehingga yang mempunyai akibat hukum hanyalah reservasi. Maksudnya adalah bila ada suatu perjanjian lalu suatu negara ingin mereservasi, contohlah Indonesia ingin mereservasi terhadap pasal 2 ICCPR, lalu timbul akibat hukumnya bagi Indonesia, dalam hal ini berupa "tanggapan" anggota-anggota peserta lain. Bagi yang setuju terhadap reservasi yg diajukan Indonesia, maka tidak ada yang berkomentar, dan akibat hukum yang berlaku bagi Indonesia bila reservasi itu diterima adalah pasal 2 ICCPR yang baru direservasi. Tetapi bagi yang tidak setuju, akan membuat pernyataan tidak setuju, dan akibat hukum yang berlaku adalah tetap Pasal 2 yang lama sebelum reservasi diajukan. (Kalau menurut para ahli hukum, apa pun namanya, itu tetap merupakan pensyaratan). Bila negara2 peserta lain tidak menyatakan sikap atas reservasi yang diajukan Indonesia tersebut, hal itu dianggap bahwa negara2 itu menerima reservasi Indonesia.
Walaupun reservasi merupakan hak suatu negara, ada pembatasan yang harus diperhatikan oleh suatu negara dalam mengajukan reservasi..,yaitu: (lihat Psl.19 Konvensi Wina '69)
  1. persyaratan itu dilarang oleh perjanjian internasional
  2. perjanjian itu menentukan, bahwa hanya pensyaratan yang khusus, yang tidak termasuk di dalam pensyaratan yang merupakan masalah, yang dapat diajukan, Bila ada negara yang mereservasi pasal tertentu yang secara tegas dinyatakan tidak boleh direservasi, maka reservasinya dianggap tidak pernah ada dan tidak akan pernah berlaku
  3. dalam hal-hal yang tidak termasuk di dalam nomor 1 dan 2 pensyaratan itu ternyata tidak sesuai dengan objek dan tujuan dari perjanjian. --- bila pensyaratan dalam hal ini tetap diajukan, ditakutkan akan menghambat usaha-usaha negara peserta untuk mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri, dan akhirnya akan merugikan negara peserta perjanjian itu sendiri.
    Kalau ada suatu negara menyatakan penolakan terhadap Hak asasi manusia yang bersifat non-derogable rights, dan ia mereservasi pasal yang berkaitan dengan HAM tersebut, maka reservasi itu tidak boleh diajukan dan tidak boleh diterima karena hal itu bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian. Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah HAM di Amerika Selatan (terhadap pembatasan reservasi yang ke-3 ini), hakim menyatakan bahwa "apabila suatu negara menyatakan reservasi yang tujuannya adalah memungkinkan negara tersebut untuk menunda setiap hak-hak asasi manusia yang bersifat non-derogable rights di dalam konvensi negara-negara Amerika mengenai HAM, maka reservasi tersebut harus dianggap sebagai incompentible (tidak sesuai/bertentangan) dengan maksud dan tujuan dari American Convention of Human Right".
selain itu, masih ada satu pembatasan lagi, yaitu reservasi tidak boleh diajukan terhadap ketentuan perjanjian yang mengandung "jus cogens". Jus cogens sebagai kaidah hukum yang sifat mengikatnya sangat kuat dan imperatif, jelas tidak boleh dikesampingkan oleh kaidah hukum yang sifat mengikatnya lebih lemah, apalagi oleh suatu tindakan sepihak yang sangat subjektif seperti pensyaratan.
Lalu bagaimana bila di dalam suatu perjanjian internasional tidak dinyatakan secara tegas bahwa suatu negara boleh mereservasi dan tidak dinyatakan secara tegas pula di dalamnya bahwa suatu negara tidak boleh mereservasi perjanjian tersebut. Apakah apabila ada negara yang ingin ikut serta pada perjanjian tersebut tetapi dengan mengajukan reservasi, apa diperbolehkan??
Untuk hal tersebut di atas, bagi negara tersebut diperbolehkan untuk ikut serta dalam perjanjian dan untuk mengajukan reservasi. Kembali lagi bahwa reservasi itu merupakan hak, jadi setiap negara berhak untuk menggunakannya, asalkan reservasi yang diajukan tersebut tidak bertentangan dengan 3 pembatasan yang telah disebut di atas. Advisory opinion yang dikeluarkan oelh ICJ menyatakan bahwa di dalam hal tersebut di atas, suatu negara tetap boleh mengajukan reservasi dengan tetap berpegang teguh pada ketentuan pasal 19 Konvensi Wina 1969.
Dapatkah suatu negara yang sudah mengajukan reservasi, kemudian menarik kembali reservasi tersebut? Kecuali jika perjanjian itu menentukan sebaliknya, suatu pensyaratan dapat ditarik kembali setiap waktu, dan penarikan kembali itu tidak membutuhkan persetujuan dari negara yang sebelumnya telah menerimanya. (pasal 22 (1) KW'69).
Begitu pula dengan penolakan negara2 peserta perjanjian terhadap reservasi yang diajukan suatu negara, penolakan tersebut dapat ditarik kembali setiap waktu. (Pasal 22 (2) KW'69).

Minggu, 30 September 2007

PERUBAHAN IKLIM (Climate Change)


Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi, antara lain suhu dan distribusi curah hujan, yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Perubahan fisik ini tidak terjadi sesaat, tetapi dalam kurun waktu yang panjang.
Perubahan iklim bisa terjadi akibat faktor alam itu sendiri atau karena dampak dari kegiatan manusia terkait penggunaan bahan bakar fossil sehingga terjadi peningkatan gas-gas pencemar dalam atmosfer (atm). Gas-gas yang dimaksud sering disebut sebagai gas rumah kaca (GRK), yaitu gas yang mempunyai kemampuan untuk menyerap radiasi gelombang panjang yang menyebabkan pemanasan atmosfer Bumi. Dalam konteks isu perubahan iklim yang dimaksud dengan GRK, yaitu gas yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, sedang GRK yang diatur oleh Protokol Kyoto terdiri dari 6 gas, yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hydroflurokarbon (HFCs), perflurokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6).
Sebagai suatu isu global , maka penanganan terhadapnya juga harus bersifat global. Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992 telah disepakati dan disyahkan konvensi PBB yang mengatur upaya-upaya untuk menstabilkan konsentrasi GRK, yaitu UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Tujuan Konvensi ini sebagaimana yang tercantum di dalam pasal 2nya adalah menstabilkan konsentrasi GRK di atm pada tingkat tertentu, sehingga tidak membahayakan sistem iklim Bumi. Cara-cara pelaksanaan pencapaian tujuan UNFCCC ini tertuang dalam Protokol Kyoto 1997. target pengurangan emisi GRK yang tercantum di dalam Protokol Kyoto ini adalah 5,2 persen dibawah emisi GRK pada tahun 1990, yang hendak dicapai pada periode komitmen bersama tahun 2008-2012.


Dampak yang dapat ditimbulkan oleh adanya perubahan iklim ini, antara lain:


  • Pertanian: berkurangnya luas lahan dan penurunan produktivitas tanaman.

  • Kehutanan: adanya perubahan tataguna dan fungsi hutan, hilangnya beberapa spesies keanekaragaman hayati

  • SD air: berkurangnya kuantitas dan kualitas air

  • kawasan pesisir: adanya kenaikan permukaan air laut menyebabkan banyak kawasan pesisir yang tenggelam, dan berubahnya fungsi kawasan pesisir tertentu.

  • Kesehatan: meningkatnya penyakit tertentu seperti malaria, demam berdarah, dan diare.

Langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengurangi dampak peubahan iklim yaitu dengan mitigasi perubahan iklim, misalnya seperti menggunakan energi terbarukan, peningkatan kemampuan hutan dalam menyerap GRK (reforestasi dan aforestasi).

Diharapkan bagi setiap pihak dalam Konvensi dan Protokol di atas dapat mentaati ketentuan-ketentuan di dalam peraturan internasional tersebut guna mendukung tercapainya tujuan di dalam UNFCCC dan Protokol Kyoto.